Sepuluh Tokoh Berpengaruh aswaja NU: Dari Hasyim Asy’ari sampai
Presiden RI
Pengaruh mereka tidak hanya
dalam bangunan yang berisikan para pemuda yang berpeci dan berkopiah, melainkan
juga di gedung wakil rakyat, bahkan juga istana negara. Peran NU dari sejak berdirinya, 1926,
sampai hari ini cukup signifikan. Tidak hanya dalam hal keagamaan, melainkan
juga dalam bidang-bidang lain, termasuk politik. tokoh berpengaruh dalam kehidupan ormas
keagamaan terbesar di Indonesia itu ialah:
1. Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14
Februari 1871 M di Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10
bersaudara pasangan Kiai Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah
binti Usman. Ia lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri Pesantren
Keras. Kakek dari pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren Gedang. Buyutnya
dari pihak ayah, Kiai Sihah, pendiri Pesantren Tambakberas. Semuanya pesantern
itu berada di Jombang. Sampai umur 13 tahun, Hasyim belajar kepada orangtuanya
sendiri sampai pada taraf menjadi badal atau guru pengganti di Pesantren Keras.
Muridnya tak jarang lebih tua dibandingkan dirinya.
Pada umur 15 tahun, ia memulai pengembaraan ilmu ke berbagai
pesantren di Jawa dan Madura: Probolinggo (Pesantren Wonokoyo), Tuban
(Pesantren Langitan), Bangkalan Madura (Pesantren Trenggilis dan Pesantren
Kademangan), dan Sidoarjo (Pesantren Siwalan Panji). Pada pengembaraannya yang
terakhir itulah, ia, setelah belajar lima tahun dan umurnya telah genap 21
tahun, tepatnya tahun 1891, diambil menantu oleh Kiai Ya`kub, pemimpin
Pesantren Siwalan Panji. Ia dinikahkan dengan Khadijah.
Namun, dua tahun kemudian, 1893, saat pasangan ini tengah berada di
Makkah, Khadijah meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan
kemudian Abdullah pun menyusul ibunya. Kala itu Hasyim tengah belajar dan
bermukim di tanah Hijaz. Tahun itu juga, Kyai Hasyim pulang ke tanah air. Namun
tak lama kemudian, ia kembali ke Makkah bersama adiknya(Anis) untuk belajar. Tapi
si adik juga meninggal di sana. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya
untuk belajar. Selama di Makkah ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Termas
(w. 1920), ulama Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab hadits
Shahih Al-Bukhari di Makkah.
Sepulangnya dari Tanah Suci.
Tahun 1899, 12 Rabi’ul Awwal 1317, ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat
pesantren inilah K.H. Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan
keagamaan Islam tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri
menjadi kreatif. Ia juga memperkenalkana pengetahuan umum dalam kurikulum
pesantren, seperti Bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan sejak 1926
ditambah dengan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia. Kiai Cholil Bangkalan(gurunya
Kyai Hasyim), yang juga dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai Jawa, pun
sangat menghormati dirinya. Dan setelah Kiai Cholil wafat, K.H. Hasyim-lah yang
dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai.
Menghadapi penjajah Belanda,
K.H. Hasyim menjalankan politik non-kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak
kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling spektakuler adalah fatwa
jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan
Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di
Surabaya. Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar adalah
pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Paham bermadzhab
timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran Al-Quran dan sunnah secara benar.
Pandangan ini erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas muslim yang selama
ini disebut Ahlussunnah wal Jama’ah.
Menurut Kyai Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain keempat
madzhab yang ada. Namun persoalannya, madzhab yang lain itu tidak banyak
memiliki literatur, sehingga mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak
mungkin bisa memahami maksud yang dikandung Al-Quran dan hadits tanpa
mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut imam madzhab. NU didirikan
antara lain untuk mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika itu mendapat
serangan gencar dari kalangan yang anti-madzhab(wahabi).
Kiai Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia
76 tahun. bersambung....