K.H. Abdurrahman Wahid
Saat Muktamar Nahdlatul
Ulama di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984, sempat terjadi suasana yang panas.
Bukan hanya karena konflik kubu Situbondo dan kubu Cipete, melainkan juga
karena kubu Situbondo terancam pecah akibat K.H. Machrus Ali, pengasuh Pondok
Pesantren Lirboyo, Kediri, menolak K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi
ketua umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU apabila tidak mau melepaskan
jabatannya sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta. Alasannya, ketua umum PBNU
tidak pantas ngurusi “kethoprak”.
Namun ternyata Gus Dur tidak mau mundur. Ia bersikeras lebih baik
tidak jadi ketua umum PBNU daripada melepas jabatan ketua DKJ. Sikap keras Gus
Dur sekilas tampak agak menyimpang dari tradisi keulamaan NU, yakni tunduk
kepada kiai. Apalagi K.H. Machrus saat itu rais Syuriyah Pengurus Wilayah NU
Jawa Timur. Masalahnya kemudian terselesaikan saat K.H. Achmad Sidiq dari
Jember bercerita kepada K.H. Machrus Ali. Ia bermimpi melihat K.H. Wahid
Hasyim, ayah Gus Dur, berdiri di atas mimbar. Spontan K.H. Machrus berubah,
sikap mendukung Gus Dur tanpa syarat. Ia menakwilkan mimpi itu, K.H. Wahid
Hasyim merestui Gus Dur.
Sekalipun lebih tua, K.H. Machrus tawadhu kepada K.H. Wahid Hasyim,
karena K.H. Wahid Hasyim adalah putra Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy`ari,
pendiri NU dan gurunya. Akhirnya Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU, dan
pada dua muktamar berikutnya ia kembali terpilih sebagai ketua umum. Maka
selama lima belas tahun (1984-1999) NU berada dalam kendali Gus Dur. Kejadian
di tahun 1984 itu menunjukkan kuatnya tradisi keulamaan di tubuh NU. Dua pilar
dalam tradisi itu adalah nasab, yaitu atas dasar hubungan darah, dan hubungan
patronase kiai-santri atau guru-murid.
Gus Dur memiliki nasab yang sangat kuat, baik dari jalur ayah
maupun ibu. Selain cucu K.H. Hasyim Asy-ari dari jalur ayah, ia pun cucu K.H.
Bisri Syansuri dari jalur ibu. K.H. Bisri Syansuri, rais am ketiga NU dan
pengasuh Ponpes Denanyar, Jombang, adalah ayahanda Hj. Solichah Wahid Hasyim,
ibunda Gus Dur. Dalam hubungan patronase kiai-santri, Ponpes Tebuireng
merupakan ”kiblat”, khususnya semasa K.H. Hasyim Asy`ari. Banyak kiai besar
yang belajar di Tebuireng. Dalam tradisi keulamaan NU, penghormatan seorang
santri kepada putra kiainya sama dengan kepada kiainya. Bahkan, sampai kepada
cucu kiainya. Karena itu, putra atau cucu kiai dipanggil “Gus”.
Wajar jika Gus Dur memiliki superioritas tinggi di mata nahdliyin.
Apalagi, ia juga memiliki kemampuan keilmuan yang dipandang sangat tinggi di
antara para tokoh NU. Meskipun tidak dikenal sebagai spesialis dalam salah satu
atau bebrapa cabang ilmu keislaman, ia sangat menguasai kitab salaf/klasik,
juga kitab-kitab kontemporer yang disusun para ulama di masa belakangan. Selain
mumpuni dalam ilmu-ilmu agama, ia pun menguasai berbagai ilmu lain dengan
wawasan yang sangat luas.
Di masa Gus Dur, pamor NU terus menaik. Ia berhasil membawa NU
menjadi kekuatan yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan, yang
waktu itu tak terimbangi oleh siapa pun. Setelah sebelumnya kurang
diperhitungkan, kecuali di saat-saat pemilu, NU kemudian berubah menjadi
betul-betul dikenal dan dihormati banyak pihak, baik dari dalam maupun luar
negeri. Jika sebelumnya jarang dibicarakan orang, dalam waktu singkat NU
berubah menjadi obyek studi dari banyak sarjana di mana-mana. Semua itu tak
dapat dilepaskan dari peran Gus Dur, baik sebagai ketua umum PBNU maupun
sebagai pribadi dalam berbagai kapasitasnya.
Ya, Gus Dur memang punya kharisma yang besar di mata para kiai,
apalagi di depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi
jendela menuju dunia modern. Ada kebanggaan di kalangan NU terhadap Gus Dur, karena
ia membawa pesantren dan NU ke dunia luar yang luas. Ia membuka masyarakat NU
untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global. Sejak di bawah kepemimpinan
Gus Dur, peran NU sebagai jam`iyyah maupun peran tokoh-tokohnya sebagai
individu dari waktu ke waktu semakin kuat dan terus meluas, termasuk dalam
politik.
Meskipun secara resmi NU telah menyatakan diri kembali ke khiththah
dan tidak lagi berpolitik praktis, pengaruh politiknya tak pernah surut, bahkan
semakin menguat. Tokoh-tokoh NU yang terlibat di pentas politik, meskipun tidak
mengatasnamakan NU. Munculnya PKB dan partai-partai baru lainnya sangat
mengandalkan dukungan warga NU. Dinamika politik kemudian terus bergulir. Hanya
berselang setahun tiga bulan setelah pendirian PKB, akhirnya pada bulan Oktober
1999 Gus Dur terpilih sebagai presiden RI yang keempat melalui pemilihan
langsung yang dramatis di MPR. Itulah puncak karier NU di pentas politik.
Bill/AY
Pengabdian Sebagai Presiden
RI ke-4
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami
ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan
ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan
pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh,
Gus Dur memberikan opsi referendum
otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan
Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah
tersebut.
Netralisasi Irian Jaya,
dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya.
Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan
pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. Sebagai
seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk
menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan
untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland
Benar… Gus Dur-lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian
Aceh. Pada pemerintahan Gus Dur-lah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan
dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup
rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah
tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih
menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk
satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara
rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara,
menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula,
untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.
Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai
pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang
pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia. Dialah tokoh nasional yang berani membela
orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh
Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak
Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru
Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi
Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan
huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan
Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.
Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga
merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf
kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000
jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini,
Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator
pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia
sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan
sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.
Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering
melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak
gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit
memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang
kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan
sosial, politik dan budaya ke depan. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan
sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran
itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.
Dan apabila kita menilik pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan
bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau
kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau
golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan
suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya
jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia
melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar.
Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena
sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.
Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena
seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki “Presiden
Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur
yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan
bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus
Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.
Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam
skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta
untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk
membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut.
Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi senjata bagi para
musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli,
Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli.
TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk
ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian
mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2)
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu
satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap
Sidang Istimewa MPR.
Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli,
MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati
Sukarnoputri. Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan.
Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa
untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan
kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi
sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak terlupakan.
Hal-Hal Positif dari Gus Dur
Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir
turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip
dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.
Pertama : Akan selalu berpihak pada yang lemah.
Kedua :
Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Ketiga : Tidak
pernah membenci orang, sekalipun disakiti.
Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan
melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya
bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan
sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur
menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang
tidak mengenal hambatan. Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik
diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat
Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya.
Layak kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan
Demokratisasi di Indonesia.
Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain
Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian
dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan
diantaranya :
Doktor Kehormatan
dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
Doktor Kehormatan
dari Twente University, Belanda (2000)
Doktor Kehormatan
bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora
dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
Doktor Kehormatan
bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan
dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan
dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
Doktor Kehormatan
dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
Doktor Kehormatan
bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
Doktor Kehormatan
bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Doktor Kehormatan
dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Penghargaan-penghargaan lain :
Penghargaan Dakwah
Islam dari pemerintah Mesir (1991)
Penghargaan
Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama
di Indonesia (1993)
Bapak Tionghoa
Indonesia (2004)
Pejuang Kebebasan
Pers
Selamat Jalan Gus Dur
Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi
penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat
ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum
dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan
perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur. Selamat
jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan
bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat
beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya
mendapat balasan yang berlipat ganda. Amin...