8. K.H. Idham Chalid
Menyebut nama Kiai Idham
Chalid, ingatan kita tentu akan melayang pada gonjang-ganjing NU pada tahun
1982-1984, yang melahirkan sekaligus menghadapkan dua kubu tokoh-tokoh
nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu Situbondo. Konflik internal NU itu juga yang
kemudian membuat Idham dianggap kontroversial. Bahkan ia dijuluki “politikus
gabus”, karena dianggap tidak memiliki
pendirian. Tak banyak yang mau melihat sisi lain kebijakan-kebijakan Kyai
Idham, yang sebenarnya sangat NU dan sangat Sunni. Sebagai politisi besar NU
yang lihai, Idham memang memainkan dua lakon berbeda, sebagai politisi dan
ulama. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, dan bila perlu
kompromistis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel, tapi tetap tidak terlepas
dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya.
Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari upaya kerasnya menjaga
stabilitas kalangan bawah nahdliyyin, yang menjadi tanggung jawabnya, agar
selamat fisik dan spiritual melewati masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke
Orde Baru, yang berdarah-darah. Strategi politik tersebut dilandaskan pada
beberapa prinsip. Di antaranya, luwes, memilih jalan tengah ketimbang sikap
memusuhi dan konfrontasi, yang justru membahayakan kepentingan umat.
Menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu
memengaruhi kebijakan penguasa, demi kemaslahatan umat.
Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan
penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat dalam menghasilkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, daripada berada di luar
kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak. Efek kebijaksanaannya sangat
luar biasa. Ia menjadi sangat berakar di kalangan bawah kaum nahdliyyin,
terutama di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah perpolitikan tanah air
lebih dari tiga dekade. Namun, dalam internal nahdliyyin ada anggapan bahwa
keterlibatan NU di wilayah politik di bawah kepemimpinannya terlalu besar.
Maka, dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang tengah digaungkan
kalangan muda NU di Muktamar Situbondo 1984, pihak lawan membuat Kyai Idham
terjatuh dari kursinya.
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat
Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Ia anak sulung dari
lima bersaudara. Ayahnya, H. Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu
Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin. Sejak kecil Idham dikenal
sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR, ia langsung duduk di kelas dua dan
bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi
modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik.
Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah
Ar-Rasyidiyyah, yang didirikan oleh Tuan Guru Abdurrasyid, alumnus Universitas
Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1922. Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana,
beberapa guru lulusan Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam
pendidikan bahasa, direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Idham,
yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak
kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan
umum.
Di mata para siswa dan wali murid, guru-guru alumni Gontor itu
sangat hebat. Tak mengherankan, banyak siswa, termasuk Idham, bercita-cita
melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi
di Ponorogo, Jawa Timur, itu. Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid lagi-lagi
membuat namanya bersinar. Kegiatan favoritnya di pesantren adalah kepanduan,
yang kelak ditularkan kepada murid-muridnya di Amuntai dan di Cipete.
Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa
Jepang, Jerman, dan Prancis.
Tamat dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta.
Di ibu kota, kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon
sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam
beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham
mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU. Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu
masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang
kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota
Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung dengan Persatuan Rakyat
Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia.
Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen
Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota
DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952,
Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam
konsolidasi internal ke daerah-daerah. Idham memulai kariernya di NU dengan
aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi
sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga
diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi
wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting
sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.
Sepanjang tahun 1952-1955, ia yang juga duduk dalam Majelis
Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab
Chasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara. Dalam Pemilu 1955, NU
berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan
suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun
berikutnya, Kabinet Ali Sastroamijoyo, NU mendapat jatah lima menteri, termasuk
satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham
Chalid.
Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember tahun yang sama,
Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU, menggantikan K.H. Muhammad Dahlan. Kabinet
Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda.
Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit
Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan
Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS. Pertengahan tahun 1966
Orde Lama tumbang, dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan
tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera, yang dibentuk Presiden Soeharto, ia
dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai tahun 1970 dan menteri
sosial sampai 1971.
Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang
sukses dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai
menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP.
Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga
terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang
diemban Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung.