Jumat, 24 Oktober 2014

MEMABACA AL-QUR’AN

MEMABACA AL-QUR’AN
Oleh: Nurul Asyhar
Pada dasarnya sangat dianjurkan bagi setiap muslim dan muslimah untuk  selalu menjaga dan memperbanyak dalam membaca Al-Qur’an. Kebiasaan para ulama’ salaf terdahulu sangatlah beragam, mereka memiliki kebiasaan berbeda dalam menghatamkan Al-Qur’an. Diceritakan oleh Imam Ibnu Abi Dawud bahwa sebagian ulama’ salaf mereka ada yang menghatamkan bacaan Al-Qur’an dua bulan sekali, sebagian lagi ada yang satu bulan satu kali, sebagian lagi ada yang sepuluh hari satu kali, ada yang delapan hari satu kali, ada yang tujuh hari satu kali, ada yang enam hari satu kali, ada yang lima hari satu kali, ada yang empat hari satu kali, ada yang tiga hari satu kali, ada yang dua hari satu kali, ada yang satu hari satu kali, ada yang satu hari dua kali hatam, ada yang satu hari tiga kali hatam, bahkan ada sebagian ulama’ yang mampu menghatamkan bacaan Al-Qur’an satu hari satu malam delapan kali hataman, empat kali hatam diwaktu malam, dan empat hatam kali diwaktu siang.
Termasuk yang punya kebiasaan satu hari satu kali hataman adalah: sahabat Ustman bin ‘affan, Tamim Ad-Dariy, Sa’id bin Jabir, Mujahid dan Imam Syafi’i rodhiyallahu ‘anhum. Sedangkan yang punya kebiasaan satu hari tiga kali hatam diantaranya adalah Salim bin ‘ithr, beliau adalah seorang hakim yang bertugas di Mesir dimasa pemerintahan sahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Berkata Syaikh Sholich Abu Abdir Rohman As-Sulamiy r.a: saya mendengar Syaikh Aba Ustman Al-Maghribiy berkata: Ibnul Katib r.a. adalah seorang ulama’ yang punya kebiasaan menghatamkan al-qur’an empat kali disiang hari dan empat kali dimalam hari. Dan inilah hataman al-qur’an terbanyak dalam satu hari satu malam yang kami dengar. Sedangkan ulama’ yang berkebiasaan menghatamkan Al-Qur’an satu jumu’ah(satu minggu) satu kali, maka banyak sekali.
Lalu kepada siapakah kita harus mengikuti? Jawabnya adalah, marilah kita koreksi diri kita sendiri-sendiri. sesugguhnya Allah telah menetapkan setiap manusia pada posisi yang tidak semuanya sama. Kata orang yang bijaksana:
لكل رجال مقام ولكل مقام رجال فاستقم حيث أقامك الله
“setiap laki-laki(manusia) memiliki posisi keahlian dan setiap posisi keahlian ditempati beberapa orang laki-laki(manusia), maka beristiqomahlah dimana tempat Allah telah memposisikan kamu”
Oleh karnanya para ulama’ tidak mengharuskan kita mengikuti kelompok tertentu, akan tetapi para ulama’ memberikan penafsilan sebagai berikut:
1-      Jika kamu adalah orang yang dianugrahi Allah kelebihan berupa kecerdasan dan pengetahuan yang luas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, maka sikap yang harus kamu ambil adalah berusaha mencurahkan kemampuan untuk memahami setiap ayat yang kamu baca hingga kamu mampu memahaminya dengan sempurna(yang penting faham yang kamu baca, bukan berapa banyak ayat yang kamu baca).
2-      Jika kamu tergolong orang yang diberi kesibukan oleh Allah seperti pendidik(penyebar ilmu agamanya Allah) atau menjadi pejabat yang harus mengurus fasilitas umumnya kaum muslimin(rakyat), maka bacalah Al-Qur’an semampu kamu jangan terlalu memperbnyak membaca Al-Qur’an hingga urusan kamu terbengkalai atau terlalu sedikit hingga kamu tergolong orang yang lupa. Karna sesungguhnya segala urusanmu(mendidik & melengkapi fasilitas umum) itu rujukannya adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
3-      Jika kamu tidak tergolong kedua kelompok diatas, maka bacalah Al-Quran sebanyak mungkin kamu bisa namun tetap menjaga tartil, karna sesungguhnya setiap huruf dari Al-Qur’an yang kamu baca itu berpahalakan sepuluh kebaikan. Nabi pernah bersabda:
إن أصغر البيوت بيت ليس فيه من كتاب الله شيء فاقرؤوا القرآن فإنكم تؤجرون عليه بكل حرف عشر حسنات أما إني لا أقول آلم و لكني أقول ألف و لام و ميم.(رواه الحاكم)
Sesungguhnya serendah-rendahnya rumah adalah rumah yang tidak ada sedikitpun dari kitab Allah didalamnya. Maka bacalah Al-Quran, sesungguhnya kalian akan diberikan pahala atasnya pada tiap hurufnya sepuluh kebaikan. Aku tidak katakan آلم (adalah satu huruf), akan tetapi alifnya, lamnya, dan mimnya(adalah huruf tersendiri(. HR. Hakim.
Sebagian ulama’ justru memakruhkan jika manusia biasa seperti kita mampu menghatamkan bacaan Al-Qur’an dalam waktu kurang dari tiga hari. Karana disitu mengindikasikan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang dia baca, hanyalah dimulut saja, tampa berusaha mentadabbur(menghayati) atau membacanya sampai hati. Sebagaimana sabda Nabi:
لايفقه من قرأ القرأن في أقل من ثلاث. رواه أبو داود والترمذي والنسائي
Tidak akan bisa memahami, seseorang yang mampu menghatamkan bacaan Al-Qur’an lebih sedikit dari tiga hari. HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i.

Selanjutnya, lebih utama manakah antara membaca Al-Qur’an dengan memandang dan memegang mushaf atau membacanya dengan tidak memandang/memegangnya sama sekali? Beberapa ulama’ salaf sebagaimana Al-Qodhi Chusain, Imam Al-Ghozali serta masih banyak lagi lebih mengutamakan membaca Al-Qur’an dengan memandang dan memegang mushaf, karna melihat atau memandang mushaf saja itu sudah merupakan ibadah tersendiri yang sangat dianjurkan. Imam Al-Ghozali dalam kitab ikhya’nya menceritakan bahwa mayoritas sahabat membaca Al-Qur’an dari catatan-catatannya(mushaf) dan tidak terlewatkan satu haripun beliau-beliau tanpa memandangnya. Namun  begitu jika seseorang justru mampu lebih khusyu’, mampu lebih menghayati, jika dia melantunkan(membaca) ayat-ayat Al-Qur’an dengan tanpa melihat atau memegang mushaf, maka baginya lebih dianjurkan melantunkannya tanpa memandang dan memegang mushaf. Wallahu a’lam...

Tidak ada komentar: